Catatan Perjalanan :

Keliling Setengah Amerika

 

27.   Mengenang Tragedi Love Canal

 

Senin, 10 Juli 2000, pagi-pagi kami sudah siap keluar dari hotel untuk menjelajah di seputar kota Niagara Falls. Kota Niagara Falls sebenarnya tidak terlalu besar dan tidak terlalu padat. Kota yang berpenduduk sekitar 58.000 jiwa ini terletak pada elevasi 174 m di atas permukaan laut.

 

Hal pertama yang kami lakukan pagi itu adalah mencari informasi lebih lengkap tentang kota ini termasuk untuk menyaksikan air terjun terkenal dan terbesar di dunia, yaitu air terjun Niagara. Kebetulan di lobi hotel ada biro jasa wisata kota yang dilayani oleh seorang bapak-bapak tua yang saya taksir berumur sekitar 65 tahun. Dengan ucapan kata-katanya yang sudah agak cadel, bapak tua ini ternyata masih gesit mempromosikan jasanya.

 

Sebenarnya ada dua tujuan utama yang mendorong saya mengunjungi kota Niagara Falls. Tujuan pertama adalah ingin menyaksikan air terjun Niagara, sedangkan tujuan kedua adalah ingin menyaksikan Love Canal. Love Canal adalah nama sebuah kanal atau terusan yang pernah menjadi tempat pembuangan limbah industri kimia yang sekian dekade kemudian mengakibatkan terjadinya bencana lingkungan bagi masyarakat yang tinggal di kawasan itu. Sebuah tragedi lingkungan yang telah menjadi mimpi buruk dan harus dibayar mahal oleh Amerika.

 

***

 

Pada bulan Oktober 1995, seorang pakar lingkungan dari Montana Tech of the University of Montana, Prof. Dr. Butch Gerbrandt, datang ke Tembagapura dalam rangka memberi kursus tentang “Reclamation of Dumps and Tailings“. Sebagai pengantar di awal kursusnya, Prof. Butch berceritera tentang tragedi Love Canal yang terjadi di wilayah Niagara Falls, di negara bagian New York. Diceriterakan, akibat dari pembuangan limbah industri yang sembrono (ceroboh dan menganggap remeh) akhirnya menyebabkan bencana yang mengancam manusia yang tinggal di sekitarnya. 

 

Bagi beberapa peserta kursus pada waktu itu, barangkali kisah Love Canal dari Prof. Butch ini hanya menjadi sekedar ceritera pengantar saja. Tapi tidak bagi saya. Ceritera itu demikian tertanam dalam ingatan saya sehingga menumbuhkan khayalan jika suatu saat saya mempunyai kesempatan pergi ke Amerika saya ingin menyempatkan untuk melihat seperti apa Love Canal itu.

 

Ketika akhirnya kesempatan itu benar-benar tiba, ingatan akan ceritera Love Canal pun kembali muncul. Maka mengunjungi Love Canal lalu menjadi salah satu agenda dari tempat-tempat di Amerika yang ingin saya kunjungi selagi saya berkesempatan tinggal di negeri besar ini.

 

Dari informasi yang saya ketahui sebelumnya, tragedi Love Canal ini berkaitan dengan tumbuhnya industri di sepanjang sungai Niagara dan berada di wilayah sekitar air terjun Niagara. Berbagai informasi tentang kota Niagara Falls lalu saya gali. Ternyata tidak mudah menemukan tempat ini. Dalam brosur-brosur pariwisata termasuk buku panduan wisata yang saya bawa, tidak satu pun disebut kata-kata tentang Love Canal.

 

Di beberapa peta New York utara dan kota Niagara Falls juga tidak ada petunjuk tentang nama ini. Agaknya Love Canal memang tidak pernah menjadi bagian dari industri pariwisata di Niagara Falls khususnya dan Amerika umumnya. Bahkan banyak orang Amerika yang hanya pernah mendengar nama Love Canal tapi tidak tahu dimana tepatnya lokasi ini berada.

 

Beruntung sekali, akhirnya saya ingat ada adiknya Mas Mimbar Seputra, yang sedang sekolah di University of Missouri – Columbia, yang seingat saya sempat pernah belajar mata kuliah yang ada hubungannya dengan environmental. Dari informasi yang diberikan akhirnya saya dapat melokalisir di mana kira-kira lokasi Love Canal berada.

 

***

 

Kepada bapak tua di lobi hotel yang menjadi agen biro wisata kota Niagara Falls saya bertanya tentang Love Canal dengan harapan bapak ini tentu ingat tragedi yang menimpa kotanya. Ternyata bapak ini hanya ingat namanya saja tanpa dapat menunjukkan lokasi persisnya. Namun dia ingat lokasinya ada di kawasan distrik La Salle. Dia lalu menyarankan saya agar bertanya ke kantor Visitor Bureau yang terletak tidak jauh dari hotel. Saya ikuti sarannya menuju kantor itu.

 

Setiba saya di kantor yang dimaksud, satu-satunya petugas yang ada di Visitor Bureau setelah saya tanya menjawab : “Ya, saya kenal nama itu, tapi dimana ya….?” Lho, kok malah tanya. Diambilnya sebuah peta dan lalu ditunjukkan kepada saya dimana kira-kira Love Canal berada.

 

Di atas peta itu saya diberi petunjuk untuk menuju ke arah timur ke kawasan distrik La Salle. Di sana ada sebuah jalan bernama Williams Road dan Love Canal berada di daerah sebelah baratnya. Setelah itu sang petugas mempersilakan saya mencarinya sendiri di sekitar daerah itu. Sang petugas pun memberi pesan yang berbunyi : “lokasi itu mungkin sudah tidak ada dan sudah berubah menjadi daerah perumahan”.

 

Saya lalu meluncur ke lokasi jalan dimaksud, dan mulailah saya bermain petak umpet, mencari lokasi Love Canal. Kali ini benar-benar peta buta yang saya bawa. Namun setidak-tidaknya informasi yang terakhir saya peroleh tadi semakin mempersempit lokasi pencarian yang harus saya lakukan. Hanya sekitar 20 menit saya perlukan untuk menuju ke lokasi Williams Road yang tadi ditunjukkan.

 

Saya susuri jalan yang membujur selatan-utara itu dari ujung yang satu ke ujung lainnya. Tidak ada tanda-tanda yang mengarah ke Love Canal. Kemudian saya berbalik arah dari utara menuju selatan, lalu masuk ke jalan-jalan kecil yang menuju ke wilayah perumahan di sisi barat jalan Williams Road.

 

Saya susuri satu persatu setiap jalan yang melintang timur-barat di wilayah perumahan itu, sambil berpesan kepada istri dan anak saya kalau-kalau melihat tulisan “Love” atau “Canal”.  Setelah berjalan zig-zag dari timur ke barat dan dari barat ke timur berpindah dari satu jalan ke jalan berikutnya, ternyata tidak juga saya temukan tanda-tanda lokasi Love Canal.

 

Sekali lagi saya coba, kali ini bergerak agak ke tengah dan mengikuti jalan yang membujur sejajar jalan Williams Road. Akhirnya saya tiba di sebuah sudut jalan perumahan dan saya berhenti di halaman parkir sebuah play ground (arena bermain anak-anak) yang agak teduh. Sambil beristirahat, sambil mencermati peta sekali lagi.

 

Di arena play ground saya lihat ada beberapa ibu sedang menemani anak-anaknya bermain ayunan. Tiba-tiba datang seseorang dan lalu memarkir mobilnya di sebelah mobil saya. Orang itu lalu berjalan menuju ke sebuah bangunan yang ada di dekat situ yang tampak sudah rusak dan tidak berfungsi. Kelihatannya orang itu seorang pemborong yang sedang menaksir-naksir bangunan yang akan direnovasi. Iseng-iseng saya hampiri orang itu dan saya ajak omong-omong. Ujungnya saya bertanya apakah dia tahu dimanakah Love Canal, sambil saya tunjukkan peta yang saya bawa.

 

Rupanya orang yang kemudian saya ketahui benama Pak Tom itu sangat mengenal nama Love Canal dan dia yakin lokasinya berada di sekitar tempat dimana kami berdiri. “Pas sekali”, kata saya dalam hati. Kata Pak Tom : “Ya, saya tahu lokasinya ada di sekitar sini”. Tapi dimana? Ketika saya berpamitan akan mengublek-ublek (menelusuri dengan teliti untuk mencari sesuatu) daerah yang diidentifikasi sebagai “sekitar sini” itu tadi, tiba-tiba Pak Tom memanggil saya.

 

“Saya kira itu lokasinya”, serunya sambil menunjuk ke sebidang tanah kosong berpagar agak tinggi yang ditumbuhi rumput dan semak-semak. Lokasi yang ditunjuk Pak Tom berada sekitar 50 meter di depan kami berdiri. Di dekat play ground memang terdapat sebidang tanah selebar sekitar 150 m yang membujur utara-selatan sepanjang sekitar 1,2 km, tepatnya antara jalan 97th Street di sisi baratnya dan 99th Street di sisi timurnya.

 

Sebidang tanah terbuka yang dikelilingi oleh pagar kawat (wire mesh) setinggi tiga meteran. Di pagar tersebut terdapat tulisan tentang larangan untuk memasuki kawasan itu. Itulah Love Canal yang kini telah ditimbun dengan tanah. Akhirnya saya temukan juga lokasinya. Bersebelahan dengan lokasi itu kini dikembangkan menjadi kompleks perumahan mewah Black Creek Community Park.

 

Dengan kendaraan, lokasi itu dapat didekati dari sisi utara di jalan Colvin Boulevard maupun memutar ke sisi selatannya di jalan Frontier Avenue. Saat mendekati Love Canal di sisi utara ini, saya sempat disindir oleh anak perempuan saya yang berumur 9 tahun. Dia bilang ke ibunya : “Bapak ini ngapain ya, Bu. Wong pagar saja kok dicari-cari sampai ke sini”.

 

Tentu saja tidak mudah bagi saya saat itu untuk menjelaskan apa yang ada di balik pagar itu. Kalau hal ini saya katakan, anak perempuan saya pasti akan menjawab : “Di balik pagar itu ya hanya ada tanah kosong yang ditumbuhi rumput”. Dan memang benar, memang hanya itu yang terlihat.

 

Namun saya yakin, bahwa kelak catatan saya ini akan menjadi catatan yang berharga bagi anak-anak saya kalau mereka besar nanti. Sama berharganya dengan khayalan-khayalan masa kecil dan masa remaja saya yang bahkan saya sendiri pun tidak pernah berprasangka baik, kalau sekian belas atau sekian puluh tahun kemudian akan menjadi kenyataan.

 

***

 

Lebih seabad yang lalu, di lokasi berpagar itu merupakan sebuah terusan yang akan menyudet sungai Niagara. Belum sempat proyek itu selesai, kemudian lalu dimanfaatkan sebagai lokasi penimbunan limbah B3 (bahan beracun berbahaya) oleh sebuah perusahaan industri kimia yang ada di kawasan sungai Niagara.

 

Dalam berjalannya waktu, mulailah muncul kasus-kasus pencemaran lingkungan yang dialami oleh masyarakat yang tinggal di kawasan itu. Hingga akhirnya mencuat menjadi masalah nasional yang membuat pemerintah Amerika harus turun tangan menuntaskannya.

 

Itulah tragedi lingkungan hidup yang pernah muncul ke permukaan menjadi topik bahasan di berbagai media massa, yang membuat Amerika terbangun dari mimpi buruknya, akan betapa bahayanya pengelolaan limbah industri yang dilakukan dengan sembrono. Saya memang hanya bahagian sangat kecil saja dari kisah tragedi Love Canal. Namun saya ingin juga mengenangnya agar kelak anak-cucu saya dapat kiranya belajar dari ke-sembrono-an orang lain.- (Bersambung)

 

 

Yusuf Iskandar

 

[Sebelumnya][Kembali][Berikutnya]